Jumat, 23 Juli 2010

badut

Beberapa badut bertampang serius duduk di sebuah meja bulat di ruang rapat. Mereka sedang mengadakan pertemuan dengan seorang konsultan di salah satu kantor mereka.
Bubbles, badut setingi enam kaki dengan rambut tebalnya yang berwarna ungu dan berantakan, bersuara pertama kali. “Dulu, ketika masih bergabung dengan kelompok sirkus, kami biasanya ditempatkan di sekitar tenda utama,” katanya. “Namun, saat ini, kami bahkan tidak bisa menemukan bisnis yang bagus.”
“Ehm. Seberapa burukkah masalah bisnis kalian?” tanya konsultan itu.
“Intinya, jika kami tidak segera mendapatkan pekerjaan, pakaian compang-camping ini terpaksa akan terus kami kenakan, dan bukan hanya karena tuntutan pekerjaan,” jawab Bubbles.
“Lalu, mengapa kalian memulai bisnis ini?”

“Menurut pemilik sirkus, kami tidak lagi cocok dengan rencana strategis mereka,” keluh Bonzo, badut lainnya. “Seperti kata mereka, ‘Gajah tidak membutuhkan tunjangan.’ Akhirnya, kami memutuskan untuk memulai sendiri bisnis jasa penyewaan badut. Anda tahulah, seperti biasa—menghibur di berbagai perusahaan, rumah sakit, dan juga beberapa pesta ulang tahun.”
“Oh, begitu,” ujar sang konsultan. “Apakah kalian menemukan kesulitan dengan bisnis kalian?”
“Akan saya ceritakan! Ketika kami berada di sebuah event promosi, sepertinya orang-orang selalu menghindari kami. Lebih cepat dari Anda mengucapkan wowie kazowie.”
“Baiklah. Mari kita duduk dan pelajari situasinya,” jawab konsultan tersebut. Ketika ia duduk di kursinya, terdengar suara whoopee cushion di ruangan tersebut—yang membuat sang konsultan segera berpikir. Sambil memandangi dengan serius badut-badut itu satu per satu, ia berkata, “Certiakan lagi tentang event promosi ini. Apa yang terjadi ketika calon pelanggan medekat dan berbicara dengan kalian?”
“Yah… Kami biasanya menyemprot mereka dengan air sabun,” jawab Bonzo. “Tapi sepertinya trik itu tidak berhasil.”
“Meniupkan terompet merah di telinga mereka juga tidak berhasil,” Bubble menimpali dengan muka murung. “Kami pikir meniupkan terompet itu lucu sampai kami mencobanya pada sekelompok polisi. Kami dituntut karena dianggap melanggar hukum.”
Kemudian, konsultan itu berkata, “Sepertinya saya tahu masalahnya. Yaitu, kesan pertama kalian di mata pelanggan. Kalian bersikap seperti sekelompok badut!”
Badut-badut ini saling menatap satu sama lain dengan tatapan mengejek dan Buster menjawab, “Menurutmu?!”
Konsultan itu tidak terpengaruh, “Kalian tahu, ketika seseorang ingin menggunakan jasa penyewaan badut, itu semua tentang mereka, bukan kalian. Mereka ingin bersenang-senang. Mereka ingin membuat anak-anak mereka senang, atau membuat klien mereka terkesan. Mereka punya banyak kebutuhan untuk dipenuhi. Dan kalian terlalu sibuk bermain-main untuk dapat menyadarinya.”
“Jadi, kami tidak bisa menjadi diri kami sendiri?” tanya Bubble malu-malu.
“Seperti yang sering diucapkan dalam program TV anak-anak favorit saya, that’s a Bozo no-no,” jelas konsultan itu. “Kalian perlu memfokuskan diri untuk menciptakan kesan pertama yang baik dimata pelanggan—sejak dipintu masuk. Jika tidak, kalian mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan kedua.”
Selebihnya, konsultan itu mendiskusikan dengan serius—paling tidak, seserius mungkin yang bisa dilakukan seseorang di sebuah ruangan yang penuh dengan badut—berbagai strategi untuk menciptkan kesan awal yang baik. Ia merekomendasikan berbagai hal, mulai dari cara memperkenalkan diri hingga hal-hal yang lebih berbobot, seperti menegoisasikan kontrak penjualan. Ketika pertemuan mereka selesai sore itu, sang konsultan menawarkan mereka sebuah saran terakhir: “Oh ya, omong-omong—sepatu badut merah besan dan hidung karet? Harus disingkirkan. Simpan kostum itu sampai kalian berhasil mendapatkan kontrak kerja.”
“Tapi, Ronald McDonald bisa menggunakannya!” teriak Bubbles.
“Begini saja… buat sebuah DVD yang merekam aksi kalian, dan kemudian berpakaianlah yang rapi,” tegas konsultanitu. “Dan ini,”—lanjutnya, sambil memegang whoopee cushion yang sudah kempes—”sama sekali tidak lucu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar